Sebelum
berubah nama menjadi Knight Kris, film animasi ini awalnya bernama Bayu Sekti.
Gue ngga tau kenapa berubah, mungkin biar lebih komersil atau ingin mencoba
pasar internasional, whatever. Film ini berada dalam masa pembuatan selama 5
tahun, dan baru saja dirilis tanggal 23 November kemaren. Dengan mengusung
jargon langganan “Karya Anak Bangsa” diharapkan film ini dapat mendulang sukses
merebut hati penonton yang terhipnotis oleh cantiknya Gal Gadot dan macho-nya
Jason Momoa (termasuk gue). Sudah ada beberapa film - film animasi
“Karya Anak Bangsa” yang muncul sebelumnya, dan gue melihat ada perkembangan
dalam setiap produksinya (ya lumayan). Jadi gue cukup yakin dan berharap film ini dapat
melanjutkan semangat pendahulunya. Tapi sayang sekali gue dibuat kecewa L . Knight Kris adalah
film serial layar lebar.
Applause utama gue berikan pada voice cast serta musik, visual efek dan color grading untuk film ini. Terima
kasih telah menjadikan film tugas akhir kuliah ini jadi lebih terasa mewah. Ya
ya gue tau “Jangan bandingin film Indonesia sama film Pixar atau Disney dong
bla-bla-bla” tapi di setiap kesempatan berbicara di media lu selalu bilang film
kita ngga kalah dengan film – film Pixar atau Disney. I know it’s not necessarily to judge a bad animation movie from it’s
animation but they call it animation movie for a reason, dude. It’s the selling point. Banyak adegan –
adegan yang seharusnya jadi keren tapi malah gagal keren karena lack of weight, bad timing, even bad facial
deformation. Kebanyakan humor dalam film ini adalah slapstick (most of the time the kids laugh) Tapi ketika humornya
adalah sebuah reaksi atau gerak tubuh, bad
timing ruin the joke.
Gue
membagi masalah gue di film ini menjadi 3 : Animasi, Visual, dan Cerita.
Animasi yang pertama. Karena gue adalah animator, jadi animasi menjadi yang
poin pertama yang gue nilai. Dikerjakan oleh animator – animator fresh dan freelancer yang telah mengerjakan film ini dari 5 tahun yang lalu, membuat
film ini terlihat inkonsisten dalam gerak animasinya. “There are some good one, and a lot of bad one”. Dari yang gue nilai, standar kualitas animasi dalam film ini
terbilang rendah untuk film yang katanya berdana – uhuk – 18 Milyar.
Kekurangannya sangat terasa di bagian – bagian penting seperti adegan aksi
pertarungan antara karakter utama dan tokoh jahatnya, dimana kamera memegang
peranan lebih penting dibanding animasi (kameranya lebih heboh) yang membut
kita sulit menikmati animasinya. Belum lagi poor
acting choice, lack of weight. Timing
and spacing. Tolong kuasai itu dulu. Banyak animasi yang floating dalam film ini. Yang menjadi
pertanyaan gue adalah “How old is this
animation?” Maksud gue, lu sudah mencoba memperbaharui kualitas animasinya
kah secara periodik? Sorry to say, Kalau
dalam 5 tahun pengembangan itu kualitas skill animasi lu meningkat, boleh lah
lu perbarui atau seharusnya ada supervisor yang benar – benar tau kualitas yang pantas di
layar lebar itu seperti apa. Feature Film
Animation, menurut gue, itu tahapan tinggi yang nggak bisa dengan
gampangnya lu bilang “Oke, ayo bikin!” Banyak uang, waktu, dan tenaga yang
harus keluar. Make a good impression, don’t
rush things with all of your juniors. Lu mau gue breakdown adegan - adegan yang
bikin gue geleng – geleng kepala? Banyak. Beberapanya adalah (for the sake of
your entertainment) :
1. Adegan ketika mobil yang
mengantar Rani ke desa Bayu, itu berasa lagi nonton Collin McRae Rally. Jalannya
mulus, dan mobilnya jalan dengan kecepatan yang konstan ngga pelan (supaya ga
banyak makan frame), gapake rem, gapake klakson (bodo amat kalau melindas warga
yang melintas).
2. Ketika ada adegan yang
ditujukan untuk humor yaitu adegan Rani kaget dengan wajahnya yang (niatnya)
lucu, facial blendshape - nya malah memberikan mimpi buruk. Ini bukan Rani
yang gue kenal, ini alien.
3. Walk cycle, run cycle, all your cycles are just there. Cuma ada
karena lu harus bikin itu jadi cycle.
Floating dan traveling. You were not
creating believable walk cycle. Bahkan ada yang gw liat karakter Rani
terbang bukan jalan (Gue tau walaupun ga keliatan kakinya).
Ngga bisa gue sebut satu persatu,
tapi overall kualitas animasi dalam film ini masih belum believable.
Visual .Desain karakter dalam film ini
memiliki kesenjangan dalam kualitas
modelling antar karakternya, dan karakter dengan lingkungannya. Bayu dan
Rani memiliki facial blendshape yang
lebih buruk dari Kaesang (gue lupa nama karakternya di film) yang membuat gue
berpikir karakter model kaesang dibuat belakangan daripada karakter utamanya. Belum
lagi desain karakter yang bikin gue berteriak “WTF IS THAT”. Oh ya, THE
BEST VISUAL in this movie is the river steam. Seriously, simulasi airnya terlihat realistik! Seperti yang gue bilang
sebelumnya, efek visual, warna dan suara di film ini bisa gw acungi jempol. Untuk
lebih mudah, gue breakdown beberapa hal – hal yang positif (ada lho) dan
negatif yang gue dapet dari visual di film ini :
1. Model Bayu dan Rani terlihat outdated dibanding kaesang yang memiliki
facial blendshape yang lebih baik. Texture yang jomplang, yang mana
karakter Bayu dan Rani serta geng botak dan warga desa ditampilkan dengan teksture yang flat tapi teksture props dan set – nya malah lebih detil.
2. Desain karakter Bayu dan Rani (atau bahkan ayah Bayu dan warga desa) ditampilkan sangat sederhana dan kurang menarik dibandingkan karakter Kaesang
yang terlihat lebih keren, atau perubahan wujud harimau yang menjadi
kekuatannya, atau bahkan tangan kanan Asura yang seperti wayang. Gue berharap
Bayu tetap berubah jadi harimau sih, daripada jadi Bayu.
note : Desain poster ini secara gesture, facial, superb than the movie. Why we were not getting this quality?
3. Desain karakter villain utamanya, ASURA,
membuat gue kesal dan nggak bisa berkata apa – apa. Monster merah raksasa
dengan taring panjang dan mata yang merah menyala, oke gue terima. Keren. Lalu
gue melihat sesuatu di perutnya. “WHAT
THE HELL IS THAT??!!” itu kata – kata yang gue ucapkan pertama kali ketika
melihatnya lebih dekat. Di perutnya ada akuarium berisi SPERMA yang berenang – renang. Gue
nggak bercanda. Itu yang pertama kali gue liat. Bahkan pacar gue juga
berpendapat sama. That things, yang
terbang – terbang di dalam perutnya yang tembus pandang bagai akuarium itu
terlihat seperti SPERMA. S-P-E-R-M-A (tarik nafas panjang). Setelah dilihat
dengan kamera yang lebih dekat, ternyata itu dimaksutkan sebagai jiwa – jiwa yang
dimakan oleh Asura. Jiwa – jiwa yang terperangkap. Sperma (jujur image itu
melekat di kepala gue walau gue sudah tau bentuk aslinya). Dari jauh tetap
terlihat sebagai…….Sperma.
4. Warna dalam film ini bagus, membantu untuk tone dan mood yang memberikan sperma, eh maksutnya jiwa untuk film ini. Pengisi suara untuk film ini top banget, karena diisi oleh pengisi suara profesional seperti yang kita dapatkan ketika kita menonton film – film kartun pagi di televisi. Suara dan scoring patut diacungi jempol, ketegangan dan keseruan yang dibawakan bisa tersampaikan walau satu lagu utuh yang gue inget itu yang om Deddy nyanyiin di akhir film (yang berhadiah 300 juta itu loh).
Cerita
dalam film ini jelas sekali ditujukan untuk anak – anak. Tidak ada humor atau referensi
yang kalau gue inget, ditujukan untuk audiens dewasa. Tapi sayang sekali,
Knight Kris adalah film serial yang dipaksakan menjadi film layar lebar. Kenapa
gue bisa bilang begitu? Karena akhir cerita dalam film ini mengingatkan kita
pada setiap akhir episode serial Pokemon, atau Dragon Ball ataupun Kamen Rider,
yaitu ceritanya berlanjut di episode berikutnya. Kecuali dalam film ini tidak
atau tulisan bersambung di pojok bawah. Yakin mau bikin kelanjutannya nih? A good story is shown, not told.
Kebanyakan backstory dalam film ini
diceritakan, bukan ditunjukkan. Animasi 2D di awal juga bagus kok, tapi sayang cuma
dipakai sekali. Bayu adalah karakter anak kecil yang kuat, pemberani, dan tidak
takut saat pertama kali teman – temannya menjahilinya. Tapi ketika dihadapkan
pada ketakutan yang sesungguhnya, dia hampir tumbang dan akhirnya mampu melawan
rasa takutnya. Bagus, di akhir cerita dia bisa mendapatkan character arc untuk itu. Tapi untuk karakter pemain yang lainnya?
Tidak ada. Rani adalah sepupu dari Bayu, yang kita tidak tau latar belakangnya
kecuali dia sepupu Bayu dan datang ke sana untuk liburan, that’s it. Rani hanya karakter pendamping yang menemani Bayu kemana
dia pergi. Empu (si monyet) adalah karakter “orang tua bijak” yang menuntun
Bayu sepanjang petualangannya. Yang kita tau hanya dia teman si pembuat keris
(yang mana berarti dia tua sekali) menunggu Si Keris untuk bertemu dengan orang
yang terpilih. Lebih tepatnya sih Bayu mencabut Keris yang menjadi segel Asura
dan membebaskannya untuk kembali meneror dunia. Jadi yang pertama kita
salahkan? Bayu. Karakter Kaesang adalah seorang Medjay atau sekelompok orang yang ditugaskan untuk melindungi keris
pusaka agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Kalau kelompok ini sudah
ada sejak lama, kenapa si Empu ngga tau ya? Mungkin Empu kurang bergaul dengan
masyarakat sekitar. Itu yang kita tau mengenai karakter utama, dan ya hanya itu
saja. Tidak ada emotional connection
berarti antara tokoh – tokohnya, yang membuat kita bersimpati kecuali untuk
tokoh Bayu yang ayah dan warga desanya berubah menjadi batu. Humor dalam film
ini terasa sangat sedikit dan penyampaiannya sering kali gagal, terutama ketika
harus dilakukan dengan timing dan spacing animasi (yang mana adalah
kekurangan dalam sisi animasi di film ini) yang tepat. Dengan minimnya penjelasan tentang ke - 6 ksatria keris dan latar belakangnya, membuat gue ngga bersimpati tentang mereka (Bahkan sampai akhir pun rombongan Bayu nggak menemukan pecahan keris lainnya). Pertarungan akhir dalam
film ini terasa sangat lama dan membosankan, apalagi ditambah animasi yang
kurang menarik dan kamera yang melelahkan mata. Banyak penonton yang pulang bahkan
sebelum film ini selesai. Secara keseluruhan cerita dan konsep film ini
terlihat sekali cocok sebagai sebuah serial (yang mungkin saja memang sengaja
agar ada yang menawarkan untuk menjadikannya sebuah serial) tapi dipaksakan
sebagai sebuah film. Gue nggak ingat apa sebelumnya pernah, tapi gue keluar
bioskop dengan perasaan kesal (dengan akhir cerita yang kentang dan sequel bait heavy) dan lelah. Bahkan
anak – anak yang menonton merengek untuk minta pulang. Masih banyak PR untuk film
animasi kita.
Film ini punya potensi. Potensi untuk jadi serial, bukan (belum) layar
lebar. Mungkin perlu belajar pada Boboiboy. Perlu penggodokan yang mungkin tak
perlu sampai 5 tahun. Gue nggak tau itu lama di produksi atau bagaimana,
yang penonton tau hanya hasil akhir. That’s
how life works. Atau mungkin diperlukan pembenahan internal mengenai
bagaimana produksi animasi yang benar dan efisien, dan menghasilkan kualitas
yang benar – benar “kelas dunia”. Tetap berjuang Viva Fantasia, tak perlu langsung terbang dengan produksi layar lebar, tapi mulailah pelan - pelan dengan serial dan manajemen yang bagus. Jangan sampai bersemi, sesudah itu mati.
Akhir
kata, gue hanyalah seorang animator yang bekerja di studio animasi di Jakarta,
yang belum pernah mengerjakan film layar lebar. Gue cuma pernah ngerjain Bubble Bath Bay, The Insectibles, Oddbods,
Star Wars Lego Freemaker, Mask Master, dan Zack Storm. Mari sama – sama belajar,
ayo datang saja ke studio The Little Giantz